Oleh:
KH. Syarofuddin Achmad*
Peran pesantren dalam perkembangan Islam -khususnya di Indonesia- tidak bisa dianggap remeh. Hal itu bisa dilihat dari peran para pengasuh pesantren yang tersebar hampir di seluruh belahan bumi Indonesia, para tokoh masyarakat yang sedari kecil dididik dalam keluarga pesantren dan para alumni pesantren itu sendiri terhadap proses pendewasaan umat islam Indonesia dalam kehidupan beragama.
Pesantren yang juga sebagai pusat pembelajaran agama islam dan pembentukan karakter yang islami pada zaman dahulu, telah mengukir sebuah tinta sejarah yang tidak akan pernah bisa dihapus oleh generasi berikutnya. Ya, pesantren merupakan sebuah wadah penampung semangat para santri untuk menjadi pribadi yang pintar, islami dan berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Namun, seiring perkembangan teknologi yang berjalan begitu cepat, posisi pesantren yang dulunya merupakan salah satu pilar utama sebagai media bagi umat untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan agama terkesan mulai tergeser. Umat Islam dewasa ini telah dimudahkan dalam usahanya untuk mengantongi berbagai informasi seputar Islam.
Zaman dahulu, seseorang bisa mendapatkan informasi tentang Islam sangat sulit. Bahkan dalam kondisi tertentu, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkanya. Mereka harus berusaha keras melawan ego dan nafsu hewani. Dibutuhkan perjuangan yang hebat untuk melalui fase-fase sebelum ia benar-benar mendapatkan apa yang dicita.
Dengan mempertimbangkan hal-hal teknis semacam itu yang nyatanya sangat mencuri perhatian syar'i, maka dalam kondisi tertentu seseorang yang terbukti salah dalam melaksanakan ibadah mendapatkan toleransi dari syariat. Dialah yang dalam fikih diistilahkan dengan ‘jahil’. Seseorang dikategorikan jahil sehingga bisa mendapatkan toleransi adalah dia yang hidup jauh di pedalaman sekaligus jauh dari ulama. Artinya, ketika seseorang dalam kondisi seperti itu, hampir bisa dipastikan bahwa prosentase untuk mendapatkan informasi tentang agama sangatlah kecil sekali.
Dari berbagai sumber yang ada dinyatakan, bahwa zaman dahulu informasi yang berkaitan dengan agama hanya dapat diperoleh melalui lisan para ulama dan karya tulis yang dibuat mereka. Dan realita yang terjadi pada zaman itu, orang-orang yang hidup jauh di pelosok pedesaan dan tidak mempunyai kesempatan bergaul banyak dengan para ulama sangat sulit untuk mendapatkan informasi-informasi seputar islam. Akan tetapi hal itu menjadi berbeda di zamam modern seperti sekarang ini. Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, baik itu yang berupa penemuan-penemuan penting dalam dunia komunikasi dan informatika, inovasi-inovasi para teknisi mesin dalam mencipta sebuah alat transportasi dan penemuan-penemuan lainya, maka kesempatan untuk memperoleh sebuah informasi yang pada zaman dahulu tidak bisa diperoleh dengan mudah sangatlah besar untuk diwujudkan.
Terlepas dari pendapat yang setuju dan tidak setuju, menurut pandangan kami, wacana penghapusan kalimat jahl dari kamus toleransi atas kesalahan pelaksanaan beragama dengan benar sangat mungkin untuk direalisasikan. Prinsipnya, “Jika sebuah keputusan hukum muncul dari sebuah ‘illat (alasan), maka keputusan itu akan menjadi berbeda bila ‘illat tersebut sudah tidak wujud.” Bagaimana bisa diterima oleh akal sehat, seseorang yang hidup dalam perkembangan media komunikasi dan informasi yang tumbuh pesat seperti sekarang ini dianggap jahil, padahal sarana untuk mendapatkan informasi agama sangatlah mudah diperolehnya.
Opsi yang semestinya, jika tidak mau nyantri, dia bisa mendapatkanya dengan bertanya kepada seorang ulama melalui telpon, email atau sms. Bagi yang faham dengan dunia internet, dia juga bisa mendapatkanya melalui situs-situs penyedia informasi tentang agama. Jadi sangat tidak mengherankan, bila ternyata banyak orang berpengetahuan luas dalam masalah keagamaan, padahal dia tidak pernah nyantri atau bergumul dengan ulama. Nah, berawal dari sinilah kemudian muncul sebuah pertanyaan besar bagi para santri dan calon santri, “Lalu apa perlunya seseorang nyantri dan apa orientasi santri di zaman yang seperti sekarang ini, padahal tanpa nyantri pun kita bisa mendapatkan informasi tentang agama?”
Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa pesantren adalah tempat yang sangat ideal dan media yang sangat tepat untuk mendapatkan informasi tentang agama. Apalagi seperti yang kami ketahui, dalam tradisi pesantren salaf(bukan salafi) ada yang namanya sanad. sanad adalah mata rantai yang menghubungkan antara seorang santri kepada sang guru dan terus bersambung kepada Rasulullah. Dan inilah tersmasuk sebuah kelebihan yang jarang sekali dimiliki lembaga-lembaga pendidikan lainya. Bisa disimpulkan, bahwa hampir semua materi dan informasi yang diterima oleh para santri mempunyai value dan tingkat kebenaran yang sangat tinggi dan terjamin.
Disamping itu, pesantren juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi santri untuk menjadi pribadi yang islami. Tradisi hormat dan patuh kepada Kyai sebagai pengasuh pesantren, bisa diaplikasikan dengan ketaatan kepada orang tua sebagai orang yang telah mengasuh dan merawat kita sedari kecil. Tradisi makan berombongan dalam satu nampan, bisa diaplikasikan dengan kebersamaan dalam menikmati dan berbagi atas nikmat-nikmat yang telah di berikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Dan selain dua tradisi tersebut, masih banyak lagi tradisi-tradisi dalam dunia pesantren yang bisa dijadikan sebagai media percontohan, pembelajaran dalam upaya pembentukan karakter yang islami.
Disisi lain, banyak sekali kita jumpai pesantren-pesantren besar yang dijejali oleh santri-santri dari berbagai daerah, bahkan negara yang berbeda-beda. Dan kenyataanya, kultur suatu daerah sangat berpengaruh sekali pada karakter pribadi warganya. Bagi santri yang cerdas dan bijak, dia akan memanfaatkan hal itu sebagai upaya pembelajaran untuk menghargai perbedaan, mensikapinya secara dewasa dan penuh kemakluman, menyatukan pikiran dan mengambil sisi positif yang tidak dimiliki oleh umumnya orang-orang daerah asalnya, khususnya yang berkaitan dengan adat dan tata hidup beragama dan bemasyarakat. Alhasil, seorang santri yang nyantri dengan baik, benar, tanggap dan cerdas, besar kemungkinan akan menjadi pribadi yang agamis dan sosialis secara bersamaan. Dan kedua hal itu merupakan dua faktor penting juga menentukan dalam kelangsungan hidup yang sehat.
Disamping sebagai panutan dan pusat pengetahuan agama islam, peran santri dan alumni pesantren sebagai filter sekaligus garda terdepan dalam menyikapi dan mengcounter faham-faham dan wacana-wacana baru yang masuk dan menyerang umat Islam seperti yang terjadi dewasa ini juga merupakan sebuah tugas tersendiri yang tidak bisa diabaikan.
Santri yang notabene sebagai pribadi yang sedang bergumul dengan materi-materi pokok ajaran agama dan cabang-cabangnya, nantinya akan mengampu sebuah kewajiban dan tugas untuk menyampaikan, mensosialisasikan dan mememberikan informasi kepada masyarakat tentang bagaimana hidup beragama dan bermasyarakat dengan baik dan benar.
Ketika informasi yang berkaitan dengan agama dengan mudahnya bisa disebarkan, tidak menutup kemungkinan akan digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk menyelipkan pemahaman-pemahaman baru yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh ulama-ulama terdahulu. Maka dari itu, peran santri dalam menyikapi hal-hal semacam ini sangat diperlukan. Jangan sampai ada faham salah yang masuk dan merusak pemahaman-pemahaman lurus yang telah digariskan oleh ulama terdahulu. Kalau sampai tugas ini diabaikan, maka kerusakan akidah dan akhlak Islami akan terlihat dimana-mana. Dan mestinya, orang-orang pesantren juga merasa ikut bertanggung jawab akan musibah kerusakan akidah dan moral ini.
Maka dari itu sebagai santri, dia harus benar-benar memikirkan dan memeperhatikan masalah ini. Besar harapan kepada seorang santri di zaman seperti sekarang ini, kelak setelah lulus dari pesantren dia bisa menjadi hamba Allah ta’ala yang tulus, sebagai sentral pengetahuan agama islam, pribadi yang islami, panutan muslim lainya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dan termasuk yang urgent adalah sebagai penjaga kemurnian ajaran agama yang sesuai dengan Al-Quran, Al-Hadist dan pendapat para ulama yang mempunyai kapasitas dalam menangkap dan memahami Al-Quran dan Hadist dengan baik.
Pada akhirnya, semoga kita benar-benar menjadi seorang hamba yang diridhoi Allah subhanahu wa ta’ala, selalu dalam pertolongan dan lindungan-Nya.
*dewan masyayih PP. Ash-Sholatiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar